Jumat, 23 September 2011

Konsep Kearifan Pemimpin

Memimpin dan dipimpin adalah suatu siklus natural dalam kehidupan. Ada saatnya kita harus memimpin, tetapi ada saatnya pula kita harus dipimpin. Seorang pemimpin adalah seseorang yang berpengaruh dan diikuti. Seorang pemimpin formal, yang menduduki suatu jabatan tertentu, berpengaruh dan diikuti karena wewenangnya. Namun ada pula seseseorang, yang meskipun tidak memiliki jabatan tertentu, tetapi orang tersebut berpengaruh dan diikuti oleh orang lain. Jadi, ada pemimpin yang berpengaruh dan diikuti karena ditakuti, tetapi ada pula yang berpengaruh dan diikuti karena dicintai.Pemimpin tipe yang terakhir inilah yang disebut pemimpin sejati, yang berpengaruh dan diikuti karena “orangnya” bukan karena “jabatannya”. Sekarang yang perlu dicari jawabannya adalah bagaimana menjadi pemimpin sejati atau true leader?

Seorang pemimpin sejati memandang orang lain sebagai “manusia” yang harus dihargai karena sifat kemanusiaannya. Seorang pemimpin sejati “nguwongake”, memanusiakan manusia. Kaya-miskin, besar-kecil, tinggi-pendek, manajer-karyawan hanyalah variasi. Hakekatnya tetap manusia. Seorang pemimpin sejati menghormati orang yang ‘memimpin’ dan menghormati pula orang yang ‘dipimpin’. Memimpin-dipimpin adalah alami, bahkan tidak bisa dihindari. Sudah kodrat manusia untuk memimpin, dan kodrat pula untuk dipimpin. Untuk itulah dikotomi atasan-bawahan sebenarnya kurang tepat, karena yang sebenarnya ada hanyalah perbedaan peran. Dikotomi atasan bawahan menimbulkan efek berkuasa-tidak berkuasa, atau setidak-tidaknya mengutamakan tingkatan kekuasaan. Inilah yang kurang tepat.

Pendekatan yang lebih alami adalah menempatkan manusia pada perannya masing-masing, dimana semuanya sama pentingnya. Seorang pemimpinpun demikian, harus mampu berperan pada tempat dimana ia berada, pada saat di depan, di tengah, maupun di belakang.

Saat Pemimpin di Depan
Seorang pemimpin adalah panutan. Sebagai panutan, orang lain yang ada disekitarnya akan manut (bahasa jawa, yang artinya mengikuti, meniru). Disini bisa dilhat betapa besarnya tanggungjawab moral seorang pemimpin, karena tindak-tanduknya, tingkah lakunya, cara berfikirnya, bahkan kebiasaannya akan cenderung diikuti orang lain. Untuk itulah maka saat berada di depan, pemimpin harus memberikan teladan, memberikan contoh. Ini disebutkan oleh Ki Hajar dengan terminologi “ing ngarso sung tulodho”, saat di depan seorang pemimpin harus memberi teladan.

Konsep ini sebenarnya tidak jauh dengan konsep “imam”, pemimpin sholat dalam agama Islam. Imam tidak selalu permanen. Seseorang bisa berdiri didepan sebagai imam, memimpin, dan diikuti oleh “makmum”, para peserta yang ada dibelakangnya. Namun dalam kesempatan lain bisa saja orang lain yang menjadi imam, dan orang yang semula imam kemudian dalam kesempatan itu menjadi makmum atau peserta. Disini tidak tercermin adanya atasan-bawahan, tetapi jelas menunjukkan siapa yang memimpin dan siapa yang dipimpin.

Saat Pemimpin di Tengah
Seorang pemimpin yang berada di tengah-tengah orang-orang yang dipimpinnya, harus mampu menggerakkan, memotivasi, dan mengatur sumberdaya yang ada (empowering). Pada dasarnya setiap orang memiliki kemampuan untuk memotivasi diri sendiri (intrinsic motivation), sehingga ada ataupun tidak adanya stimuli tetap saja akan termotivasi. Hanya saja, kadar motivasi dari diri sendiri sering tidak stabil kehadirannya. Untuk itulah maka motivasi dari luar dirinya (extrinsic motivation) tetap sangat diperlukan. Disinilah seorang pemimpin dapat mengambil peran. Kehadirannya membuat orang tergerak untuk bertindak. Itulah pemimpin sejati.

Seorang pemimpin sejati saat berada di barisan tengah tidak membebani pemimpin lain yang sedang berada di barisan depan maupun belakang. Untuk itulah maka peran oposisi menjadi tidak relevan disini. Dimanapun posisinya, dan apapun perannya akan tetap saling mendukung dan menopang. Saat di tengah, pemimpin sejati menggerakkan, mendorong yang di depan dan menarik yang di belakang. Inilah hakikat dari ing madya mangun karsa.

Saat Pemimpin di Belakang
Siapa bilang seorang pemimpin tidak boleh berada di barisan belakang? Pemimpin sejati diperlukan kehadirannya dibarisan belakang. Dari belakang seorang pemimpin dapat memberikan dorongan untuk terus maju. Pemimpin yang berada di barisan belakang harus pandai-pandai mengikuti barisan di depannya, agar konsisten gerakan dan arahnya , agar terjadi apa yang disebut goal cogruency, suatu keadaan di mana tujuan individu yang berada dalam suatu organisasi konsisten dengan tujuan organisasi. Tanpa goal congruency arah gerakan organisasi menjadi berat karena banyaknya arah yang tidak sama dan mungkin justru saling berlawanan.

Seorang pemimpin sejati harus bisa ngemong (bahasa jawa yang berarti melayani, mengasuh, take care of). Bagaimana seorang penggembala itik berjalan diposisi paling belakang setelah barisan itik-itik yang digembalanya sering digunakan sebagai ilustrasi untuk menggambarkan bagaimana seorang pemimpin dapat mengarahkan orang dari belakang. Setiap orang memiliki bakat sendiri-sendiri. Setiap orang juga memiliki kemampuan untuk bisa bergerak maju mendapatkan apa yang mereka mau, dan juga apa yang diinginkan oleh organisasi. Pemimpin sejati memberikan dorongan dari belakang, tetap mengarahkan agar sesuai tujuan, dan mampu memastikan bahwa orang-orang di dalam organisasi bekerja sesuai dengan arah dan strategi yang telah ditetapkan. Jadi, seorang pemimpin sejati akan tut wuri handayani.